Kamis, 13 Desember 2012

Batara Guru



BETARA GURU (MANIKMAYA) Manikmaya adalah seorang Dewa, putra Hyang Tanggal. Dia dilahirkan berupa cahaya, bersama-sama dengan Ismaya. Manikmaya bercahaya putih gemerlapan. Bersabdalah Hyang Tunggal, bahwa Manikmaya kelak akan menguasai alam ini, karena kesaktian dan ketampanannya. Setelah Manikmaya menerima sabda yang demikian itu, dia pun merasa bangga dan merasa diriya tiada cacadnya. Perasaan ini diketahui dari Hyang tunggal dan dia pun bersabda, “Hai, Manikmaya, ketahuilah, bahwa engkau akan mendapatkan cacad pada dirimu, ialah berupa belang di leher, lemah di kaki, caling di mulut dan bertangan empat.” Manikmaya menyesal dan merasa bersalah, bahwa dia telah merasa begitu tekebur di dalam hati. Sabda Hyang Tunggal memang menjadi kenyataan. Pada waktu Nabi isa lahir, Manikmaya datang menyaksikan. Demi dilihatnya, bahwa bayi berumur sebulan belum bisa berjalan, keadaan yang berbeda sekali dengan para Dewa, maka apa yang disaksikannya itu dianggapnya sebagai sesuatu yang tak sempurna. Seketika itu juga Manikmaya mendapat tulah dan kaki kirinya menjadi lemah. Suatu ketika Manikmaya merasa-sangat dahaga. Maka dilihatnya sebuah telaga yang teramat jernih airnya. Pergilah dia ke situ untuk minum. Tetapi begitu air hendak diteguknya, terasa olehnya, bahwa air itu berbeda dan dimuntahkannya kembali. Pada saat itulah Manikmaya mendapat cacad belang di leher. Manikmaya kena sumpah permaisurinya, Dewi Uma yang menginginkan, supaya Manikmaya menjadi bercaling seperti raksasa. Seketika itu juga bercalinglah Manikmaya seperti raksasa. Sumpah Dewi Uma disebabkan karena Manikmaya pada waktu itu tak dapat menahan nafsunya. Ketika Hyang Manikmaya melihat orang bersembahyang dengan menyelimutkan bajunya, dia tertawa oleh karena mengira bahwa orang itu bertangan empat. Seketika itu juga tubuh Hyang Manikmaya bertangan empat. Menjadi kepercayaan di dalam pewayangan, bahwa Hyang Manikmaya melambangkan halusnya batin manusia. Kemurkaan Betara Guru ada disebut di dalam lakon Sasikirna. Kependekan ceritanya sebagai berikut: Istana negara Astina kemasukan maling sakti yang ingin berkenalan dengan Dewi Dursilawati, putri Raja Suyudana. Maling itu demikian saktinya, hingga tak ada yang bisa mengalahkannya. Dewa pun tak bisa. Tersebutlah Raden Caranggana di Awu-awu Langit, anak Raden Arjuna yang datang ke negara Dwarawati dalam usahanya untuk bertemu dengan bapaknya. Bersabdalah Sri Kresna, bahwa Raden Arjuna akan mengakui Caranggana sebagai anaknya, bila dia bisa menangkap maling di Astina itu. Raden Caranggana berhasil menangkap maling yang sesungguhnya tak lain daripada Betara Guru. Di sini kita jumpai suatu bukti, bahwa kekuatan batin manusia yang disalah gunakan akhirnya akan dikalahkan juga oleh kebenaran. Jadi secara kias batin pun bisa menjurus ke arah yang salah dan tidak benar. Betara Guru bisa berkelakuan sebagai manusia biasa dengan segala kekurangan kekurangannya Hyang Guru pernah menjadi raja di Medangkemulan, bergelar Sri Paduka Raja Mahadewabuda. Sebabnya mengapa Manikmaya disebut Guru ialah oleh karena dia berusaha mengembangkan agama Budha. Di antara nama-nama Betara Guru banyak yang berpangkal pada kekuasaannya, tetapi oleh Hyang Tunggal dia tak diizinkan menggunakan nama Sang Hyang Wenang, oleh karena kekuasaan Guru masih terbatas. Wenang berarti kekuasaan yang tak terbatas. Wayang Betara Guru beroman muka tiga macam: Karna, Cancihi, dan Gana. Matanya jaitan (bentuknya seperti dijahit). Mata berbentuk demil dalam bahasa Jawa di sebut njait. Hidungnya mancung, mulutnya tertutup. Tangannya empat, dan dua berdekap dari yang dua lagi memegang senjata Trisula dan panah. Ia berdiri di atas Lembu Andhini. Selanjutnya dia bermahkota topeng, berjamang tiga susun, bergaruda membelakang, bersunting waderan, berselendang dan berkain. Konon menurut cerita orang, wayang Betara Guru adalah buah ciptaan Panembahan Senapati di Mataram dan dimaksudkan sebagai candrasangkala (perhitungan angka tahun). Kalimat yang menyatakan waktu pembikinan wayang berbunyi Dewi dadi ngecis bumi dan adalah sama dengan 1451 tahun Jawa. Menurut kepercayaan Jawa, lebih-lebih lagi kepercayaan dalang, maka wayang Betara Guru sangat dihormati dan dianggap sebagai wayang yang paling keramat. Oleh karena itu pun wayang Betara Guru dibedakan dari wayang-wayang lainnya. Misalnya saja hanya wayang Betara Gurulah yang diselubungi kain indah. Demikian pula sebelum dimainkan, wayang ini dikenakan asap dupa lebih dulu dan orang pun takut melangkahi batang pisang bekas menancapkan wayang Betara Guru. Kepercayaan mengenai tokoh-tokoh wayang disebut pengetahuan pengiwa, kiri apabila berhubungan dengan tokoh-tokoh dewa dan disebut pengetahuan penengen, kanan, apabila berhubungan tokoh-tokoh lainnya yang bukan Dewa. Kepercayaan ini sangat mendalam dan diketahui orang secar merata mulai dari anak-anak hingga pada orang-orang dewasa, yang umumnya dengan jelas dapat mengkhayalkan tokoh-tokoh wayang yang indah dan yang bila ditampilkan di depan kelir oleh dalang, selalu diiringi bunyi gamelan yang merdu. Penabuh-penabuh memainkan gamelan menurut pathet-pathet patokan-patokan tertentu, seperti pathet enan, pathet sembilan, pathet menyura. Setiap pathet menghasilkan suara yang berlain-lainan tetapi ini terlalu mendalam untuk dapat diuraikan di dalam buku yang tidak secara khusus membicarakan tentang gamelan. Yang perlu diketahui ialah, bahwa gamelan mampu mencerminkan perasaan suka duka, gembira, bangga, dan lain-lain. Wayang berbagai-bagai wanda, roman mukanya, ini dapat dibeda bedakan menurut waktu, ketika wayang dimainkan, sore, malam, dan juga menurut semangat ceritanya, pada waktu sedang tenang atau pada waktu sedang murka. Hal-hal mengenai wanda merupakan pengtahuan tersendiri dan teruntuk bagi mereka yang mengkhususkan diri dalam soal soal perwayangan. Tetapi sesungguhnyalah kalau wayang-wayang yang bersamaan wanda dan berbeda wanda dijajarkan, akan nampak perbedaan satu sama lainnya. Gambar wayang Betara Guru dalam buku ini dimaksudkan sebagai berhadapan muka dengan orang yang melihatnya ini dapat ditilik dari cara kaki berdiri, tetapi karena diujudkan berupa wayang, maka Betara Guru pun diperlihatkan miring. LEMBU ANDHINI Lembu Andhini adalah seekor lembu betina, anak raja jin bernama Patanam. Karena ingin menguasai alam ini, bertapalah dia dan dipuja puja oleh penduduk di sekelilingnya. Akhirnya orang pun beranggapan, bahwa Lembu Andhini adalah Dewa juga. Betara Guru mengetahui hal ini. Maka Lembu Andhini pun dikalahkannya dan dijadikannya kendaraan yang tak terpisah dari padanya, bahkan yang sejiwa juga dengannya (Lihat gambar). Tapi Lembu Andhini tak merasa senang diperlakukan demikian dan tak henti-hentinya dia berdaya-upaya untuk membalas dendam. Akhirnya Lembu Andhini menemukan akal untuk mengadudombakan Betara Guru dengan permaisurinya, hingga mereka sampai berperang. Sesudah permaisurinya dikalahkannya, menjadi tahulah Betara Guru bahwa berperangnya dengan permaisurinya itu adalah karena perbuatan Lembu Andhini sendiri. Menjadi murkalah Betara Guru. Disumpahinya Lembu Andhini sehingga berobah menjadi pelangi. Takhayul mengatakan, bahwa pelangi berkepala lembu dan kalau dia kelihatan maka saat itu Lembu Andhini sedang minum air laut. Sesudah kehilangan kendaraannya, Betara Guru merasa lemah, tetapi dia segera mendapat gantinya berupa seekor lembu jantan bernama Andana, anak seorang raksasa bernama Gopatama. Kemudian nama Andana digantinya dengan Andhini seperti kendaraannya yang semula. Lembu hutan disebut banteng dan lebih besar serta lebih kuat daripada lembu biasa. Di dalam cerita wayang, banteng yang marah karena terluka lebih berbahaya daripada lembu biasa. Maka itu pun seseorang yang berperang dengan gagah berani diumpamakan sebagai banteng terluka atau dalam bahasa Jawanya: Lir banteng ketaman kanin. Banyak arca-arca dalam bentuk lembu berbaring yang tentunya diilhami oleh Lembu Andhini itu. Menurut cerita, zaman dahulu lembu digunakan sebagai kendaraan, karena lembu sangat patuh dan kuat berjalan di tempat tempat yang sukar, sehingga layak untuk dijadikan kendaraan para pendeta. Kata lembu juga banyak dipakai di dalam nama orang orang kenamaan. Seperti, misalnya, Lembuamiluhur, seorang raja di negara Jenggala; Lembupeteng, seorang keturunan raja yang hidup bersembunyi dan Lembusura, seorang raja raksasa di Gua Kiskenda, dan lain-lain. Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar